Thursday, November 5, 2020

KLB PANGAN

 

Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan

A. Pendahuluan

      Pangan merupakan salah satu media bagi agen dari sumber alam maupun hasil dari aktifitas manusia yang menyebabkan manusia menderita penyakit, keracunan bahkan kematian. Masalah kesehatan masyarakat yang serius disebabkan oleh pangan yakni KLB keracunan pangan sehingga tindakan penanggulangan KLB karena pangan perlu dilakukan secara cepat, tepat dan benar untuk mengatasi masalah ini dan tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

B. Pengertian

1.    KLB adalah kejadin berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.

2. KLB adalah kejadian yang melebihi keadaan biasa, pada satu/sekelompok masyarakat tertentu.

3.    KLB adalah peningkatan frekuensi penderita penyakit, pada populasi tertentu, pada tempat dan  musim atau tahun yang sama.

4.  KLB adalah Timbulnya atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk/daerah dalam kurun waktu tertentu.

5.  KLB adalah peristiwa yang ditandai dengan meningkatnya kejadian gangguan atau kesakitan dan kematian yang diluar kebiasaan atau yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dan pada kurun waktu tertentu.

6.  KLB adalah peningkatan kejadian kesakitan/kematian yang meluas secara cepat baik dalam jumlah kasus maupun luas daerah penyakit dan dapat menimbulkan malapetaka.

7.  KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisis epidemiologi terbukti makanan tersebut sebagai sumber keracunan.

8.  Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk menangani penderita, mencegah perluasan KLB, mencegah timbulnya penderita atau kematian baru pada suatu KLB yang sedang terjadi.

9.  Program Penanggulangan KLB adlah suatu proses manajemen yang bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

C. Gambaran Klinis

Gejala dan tanda-tanda klinik keracunan pangan sangat bergantung pada jenis etiologinya, tetapi secara umum gejala keracunan pangan dapat digolongkan kedalam 6 kelompok, yaitu :

1.    Gejala utama yang terjadi pertama-tama pada saluran gastrointestinal atas (mual, muntah)

2.    Gejala sakit tenggorokan dan pernafasan

3.    Gejala utama terjadi pada saluran gastrointestinal bawah (kejang perut, diare)

4.    Gejala neurolgik (gangguan penglihatan, perasaan melayang, paralysis)

5.    Gejala infeksi umum (demam, menggigil, rasa tidak enak, letih, pembengkakan kelenjar limfe)

6.    Gejala alergik (wajah memerah, gatal-gatal)

D. Etiologi

Secara umum etiologi keracunan makanan disebabkan oleh bahan kimia beracun (tanaman, hewan, metabolit mikroba) kontaminasi kimia, mikroba patogen, non bakteri (parasit, jamur, virus, spongiform encephalopaties)  (Betty, Penyakit-penyakit akibat pangan, dalam Surveilans Keamanan Pangan)

E.  Penyelidikan Epidemiologi KLB Keracunan Pangan

KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisis epidemiologi terbukti makanan tersebut sebagai sumber keracunan.

Penyelidikan KLB keracunan pangan dapat dilakukan dengan studi epidemiologi deskriptif dan studi epidemiologi analitik. Studi  epidemiologi analitik dapat dibagi menjadi studi observasional kohor dan case control serta studi epidemiologi eksperimen. Sebagian besar pelaksanaan Penyelidikan KLB menggunakan studi deskriptif, tetapi untuk mengetahui sumber penyebaran yang lebih tepat biasanya menggunakan desain analisis Epidemiologi analitik, yaitu membanding-bandingkan kelompok yang mendapat racun dengan kelompok yang tidak mendapat racun, serta antara kelompok yang sakit dengan kelompok yang tidak sakit. Semakin teliti pelaksanaan Penyelidikan KLB, maka akan semakin banyak membutuhkan waktu dan tenaga, sementara KLB keracunan pangan membutuhkan hasil Penyelidikan yang cepat untuk pengobatan korban dan mencegah jatuhnya korban keracunan berikutnya.

Secara operasional lapangan dan berdasarkan tujuannya, penyelidikan KLB keracunan pangan dibagi :

1)    Teknik Penetapan Etiologi KLB Keracunan Pangan

2)    Identifikasi Sumber Keracunan

3)    Formulir Penyelidikan KLB Keracunan Pangan.

1.    Teknik Penetapan Etiologi KLB Keracunan Pangan

Penetapan etiologi KLB keracunan pangan dapat dilakukan berdasarkan 4 langkah kegiatan yaitu :

a.    Wawancara dan pemeriksaan fisik terhadap kasus-kasus yang dicurigai

b.    Distribusi gejala pada kasus-kasus yang dicurigai

c.    Gambaran epidemiologi

d.    Pemeriksaan pendukung, termasuk laboratorium

e.    Penarikan kesimpulan

1)    Wawancara dan Pemeriksaan Kasus-kasus yang dicurigai

Pada saat berada di lapangan, dilakukan wawancara dan pemeriksaan pada penderita yang berobat ke unit pelayanan. Dari hasil pemeriksaan ini dapat diperkirakan gejala dan tanda penyakit yang paling menonjol diantara penderita yang berobat dan kemudian dapat ditetapkan diagnosis banding awal

2)    Distribusi Gejala pada Kasus-kasus yang dicurigai

Wawancara kemudian dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih luas dan sistematis terhadap semua gejala yang diharapkan muncul pada penyakit keracunan yang termasuk dalam diagnosis banding. Misalnya, pada KLB keracunan pangan dengan gejala utama diare dan muntah serta beberapa gejala lain yang sering muncul pada beberapa kasus, maka dapat ditetapkan diagnosis banding : KLB keracunan pangan karena kuman Vibrio Parahemolitikus, Clostridium perfringens, Baksiler disentri. Vibrio hemolitikus menunjukkan gejala nyeri perut, mual, diaare, menggigil, sakit kepala, dan kadang-kadang badan panas. Clostridium perfringens menunjukkan gejala mual, muntah, nyeri perut, diare, badan letih/lemas. Shigella dysentriae menunjukkan gejala diare hebat, berlendir dan berdarah, nyeri perut, panas badan dan sakit kepala.

Dari seluruh gejala tersebut diatas disusun sebuah daftar pertanyaan. Wawancara dengan daftar pertanyaan ini dilakukan terhadap kasus yang dicurigai (definisi kasus), dan kemudian dipindahkan dalam tabel Distribusi Gejala sebagai berikut :

Tabel 1. Distribusi Gejala KLB Keracunan Pangan

(wawancara terhadap 25 kasus)

 

No.

Gejala dan Tanda

Jumlah Kasus

%

1.

Diare

25

100

2.

Diare berlendir

2

8

3.

Diare berdarah

1

4

4.

Muntah

20

80

5.

Nyeri perut

10

40

6.

Mual

20

80

7.

Menggigil

2

8

8.

Sakit kepala

2

8

9.

Panas badan

3

12

 

Pada tabel ini dapat dipelajari etiologi yang paling mungkin dari ketiga jenis penyakit yang ditetapkan sebagai diagnosis banding dan etiologi  yang paling tidak mungkin dapat disingkirkan sebagai etiologi KLB. Pada tabel tersebut, gejala diare berlendir dan berdarah sangat sedikit, dan oleh karena itu, etiologi Shigella dysentriae adalah tidak mungkin sebagai etiologi KLB. Sedang Vibrio parahemolitikus dan Clostridium perfringens belum dapat disingkirkan. Pada KLB ini kasus diare Shigella dysentriae tetap ada dalam jumlah normal.

3)    Gambaran Epidemiologi

Gambaran epidemiologi menurut ciri waktu, tempat dan orang dapat digunakan untuk menentukan etiologi KLB keracunan pangan.

Periode KLB Keracunan Pangan

Periode KLB dihitung sejak kasus keracunan pertama sampai kasus terakhir yang ditemukan saat tim penyelidikan berada di lapangan.

Rumus:

Pada KLB point source common source, penyakit dengan selisih masa inkubasi terpendek–terpanjang lebih pendek dari periode KLB, dapat disingkirkan sebagai etiologi KLB.

 

 

 

 

 

No.

Nama Penyakit

Masa Inkubasi (jam)

Periode KLB

Disingkirkan Sebagai

Etiologi

Terpendek

Terpanjang

Selisih

1.

Perfringens

8

22

14

 

22

Disingkir

kan

2.

Parahaemolitikus

2

48

46

Belum disingkir

kan

Tabel 7    Diagnosis Banding KLB Keracunan Pangan

 

Masa Inkubasi Terpendek dan Terpanjang KLB Keracunan Pangan

Seringkali pada saat penyelidikan, sumber keracunan makanan beracun sudah dapat diidentifikasi waktu pemaparannya (waktu paparan), misalnya waktu pesta, waktu pemberian makanan tambahan di sekolah dan sebagainya. Waktu antara saat makan makanan yang dicurigai (waktu paparan) sampai kasus KLB keracunan pangan pertama (KLB mulai) merupakan masa inkubasi terpendek KLB. Periode itu juga merupakan masa inkubasi terpendek dari penyakit penyebab timbulnya KLB keracunan pangan. Sementara waktu antara saat makan makanan yang dicurigai (waktu paparan) sampai kasus KLB keracunan pangan terakhir (KLB berakhir, atau terakhir pada saat di lapangan) merupakan masa inkubasi terpanjang KLB. Periode itu juga merupakan masa inkubasi terpanjang dari penyakit penyebab  timbulnya KLB keracunan pangan.

Rumus:

Penyakit dengan masa inkubasi terpendek lebih panjang dari masa inkubasi terpendek KLB, dapat disingkirkan sebagai etiologi KLB.

Penyakit dengan masa inkubasi terpanjang lebih pendek dari masa inkubasi terpanjang KLB, dapat disingkirkan sebagai etiologi KLB

Tabel 8 KLB Keracunan Pangan

No

Nama Penyakit

Masa Inkubasi Terpendek

Masa Inkubasi Terpendek KLB

Penyakit Disingkirkan

1.

V. Parahaemoliticus

2 jam

 

 

3 jam

Belum

2.

C. Perfringens

8 jam

Disingkirkan

3.

Shigella dysentriae

12 jam

Disingkirkan

 

Gambaran Epidemiologi Menurut Ciri Tempat dan Orang

Setiap daerah mempunyai pengalaman epidemiologi yang berbeda dengan daerah lain. Data epidemiologi ini diketahui berdasarkan surveilans KLB keracunan pangan di daerah tersebut. Misalnya KLB keracunan pangan karena racun malation (insektisida), akan banyak terjadi di daerah dengan program penanggulangan malaria atau demam berdarah, sedangkan pada daerah lain akan sangat kecil kemungkinan terjadi KLB keracunan pangan malation.

Golongan umur juga seringkali dapat digunakan untuk identifikasi etiologi KLB keracunan pangan. Misalnya, KLB keracunan makanan karena virus hepatitis A sering terjadi pada anak-anak SD dan SLTP, karena virus ini dapat bertahan hidup lama dalam minuman dingin (es), padahal minuman dingin sangat disukai anak sekolah.

Gambaran epidemiologi menurut ciri pekerjaan, kebiasaan makan dan minum, serta ciri epidemiologi lain, dapat digunakan sebagai cara untuk identifikasi etiologi KLB keracunan pangan.

 

4)    Pemeriksaan pendukung, termasuk laboratorium

Pemeriksaan spesimen tinja, air kencing, darah atau jaringan tubuh lainnya, serta pemeriksaan muntahan dapat digunakan sebagai cara untuk identifikasi etiologi KLB keracunan pangan.

Pada saat terjadinya KLB keracunan pangan, secara otomatis, petugas lapangan akan mengambil darah, feses dan air kencing (urine) penderita termasuk muntahan, dan kemudian mengirimkannya ke laboratorium dengan catatan “spesimen KLB keracunan pangan”

Secara sistematis, seharusnya spesimen yang diambil dan diperiksa laboratorium adalah digunakan untuk memperkuat pemeriksaan etiologi yang telah ditetapkan dalam diagnosis banding. Misalnya, KLB keracunan pangan tersebut diatas dengan diagnosis banding Vibrio parahaemolyticus, Clostridium perfringens dan Shigella dysentriae, maka sebaiknya pemeriksaan laboratorium diarahkan oleh investigator untuk identifikasi kemungkinan ketiga penyebab tersebut sebagai penyebb, termasuk prosedur pengambilan sampel dan pengamanan dalam penyimpanan dan pengiriman spesimen.

5)    Penarikan Kesimpulan

Dengan memperhatikan berbagai cara dalam menetapkan etiologi KLB keracunan pangan tersebut diatas, maka kesimpulan etiologi harus didasarkan pada semua analisis tersebut diatas. Semakin lengkap data tersebut diatas yang dapat ditemukan oleh para investigator, maka semakin tepat etiologi yang ditetapkannya.

Seringkali etiologi spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan tepat, tetapi bagaimanapun juga diagnosis banding etiologi merupakan hasil kerja maksimal yang cukup baik.

2.    Identifikasi Sumber Keracunan

Secara teoritis, kasus keracunan terdistribusi antara masa inkubasi terpendek dan masa inkubasi terpanjang, dengan jumlah terbanyak pada masa inkubasi rata-rata, atau median.

Beberapa Teknik Untuk Identifikasi Sumber Keracunan

a.    Memanfaatkan diagnosis dan masa inkubasi kasus-kasus KLB

b.    Analisis epidemiologi deskriptif

c.    Pemeriksaan penunjang

d.    Analisis epidemiologik analitik

e.    Hubungan khusus antara kasus dan sumber keracunan.

(a)   Diagnosis dan Masa Inkubasi Kasus-Kasus KLB

Apabila waktu terpaparnya belum jelas, tetapi diagnosis KLB sudah diperoleh, sehingga sudah dapat diketahui masa inkubasi terpendek dan terpanjang penyakit etiologi KLB.

Rumus:

Periode Paparan KLB adalah periode waktu sebelum kasus pertama (A) dikurangi masa inkubasi terpendek (A1) sampai dengan kasus terakhir KLB (B) dikurangi masa inkubasi terpanjang penyakit (B1).

 

 

Text Box: kasus 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(b)  Analisis Epidemiologi Deskriptif

Gambaran epidemiologi KLB deskriptif dapat ditampilkan menurut karakteristik tempat dan orang dan akan lebih banyak ditampilkan dengan menggunakan bentuk tabel dan peta.

Tabel distribusi kasus:

Tabel 9. KLB Keracunan Pangan Menurut Umur

PT. Sepatu Baru, Bogor, Juni 2001

 

Gol. Umur (Tahun)

Populasi Rentan

Kasus

Meninggal

Attack Rate (%)

CFR (%)

< 15

50

5

0

10

0

15-24

2500

600

0

24

0

25-44

1000

50

0

5

0

45 +

100

5

0

5

0

Total

3650

660

0

18

0

 

Sebelumnya perlu ditetapkan mulai dan berakhirnya KLB, sehingga kasus-kasus diluar periode KLB dapat disingkirkan.

 

Tabel 10. KLB Keracunan Pangan Menurut Jenis Kelamin

PT. Sepatu Baru, Bogor, Juni 2001

 

Jenis Kelamin

Populasi Rentan

Kasus

Meninggal

Attack Rate (%)

CFR

(%)

Pria

1150

220

0

19.1

0

Wanita

2500

440

0

17.2

0

Total

3650

660

0

18.4

0

 

Identifikasi kelompok rentan (attack rate) dimanfaatkan untuk menuntun kepada sumber keracunan dengan mengajukan pertanyaan:

·         “Adakah suatu kondisi yang menyebabkan kelompok tertentu lebih rentan dibandingkan kelompok lain ?”

·         “Adakah keadaan yang dicurigai tersebut berhubungan dengan sumber keracunan ?”

Secara umum, langkah pertama identifikasi sumber keracunan dengan memanfaatkan attack rate adalah dengan menetapkan spesific attack rate dan spesific case fatality rate menurut umur dan jenis kelamin, tetapi dengan memperhatikan berbagai keadaan lingkungan yang berhubungan dengan kejadian KLB dapat juga mencurigai karakteristik lain yang berhubungan dengan sumber keracunan.

Identifikasi sumber keracunan berdasarkan karakteristik pada langkah pertama, seringkali tidak langsung menemukan sumber keracunan tetapi menemukan karakteristik lain yang dicurigai berhubungan dengan sumber keracunan yang dicari (hipotesis). Kemudian hasil analisis pada identifikasi karakteristik terakhir ini dapat juga menghasilkan karakteristik baru yang dicurigai berhubungan dengan sumber keracunan yang dicari (hipotesis), demikian seterusnya.

Seorang penyelidik, setelah mencermati berbagai kondisi yang berhubungan dengan sumber keracunan, dapat saja sekaligus memperkirakan beberapa karakteristik yang dicurigai berhubungan dengan sumber keracunan yang dicari (beberapa hipotesis).

(c)  Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan gambaran epidemiologi menurut karakteristik waktu, tempat dan orang, penyelidik biasanya sudah dapat mengidentifikasi dugaan sumber keracunan. Dugaan seperti ini masih dalam batas hipotesis sumber keracunan yang harus dibuktikan kebenarannya dengan pemeriksaan laoratorium.

Rumus:

Hipotesis sumber keracunan terbukti benar jika racun yang ditemukan pada makanan (sumber keracunan yang dicurigai) adalah sama dengan racun yang didiagnosis sebagai penyebab KLB.

(d)  Analisis Epidemiologi Analitik

      Untuk mengetahui jenis makanan yang mengandung bahan beracun, menggunakan desain studi analitik yang membandingkan antara yang makan makanan tertentu dengan yang tidak makan makanan tersebut.

      Terdapat 2 teknik desain studi analitik, yaitu “Kohort” dan “Case Control.” Tetapi pada pembahasan ini hanya akan dibahas desain studi “Kohort” saja. Pembahasan nilai-nilai statistik studi ini juga tidak dibahas.

Risiko Relatif =  

Misalnya RR (gado-gado) = 10 (2,18) pada α  5 %,  artinya orang-orang yang makan gado-gado mempunyai risiko jatuh sakit sebesar 10 kali dibandingkan dengan risiko dari orang-orang yang tidak makan gado-gado, risiko paling rendah adalah 2 kali dan paling tinggi adalah 18 kali pada tingkat kepercayaan

(α) 5 %.

 

Tabel 10. KLB Keracunan Pangan, PT. Sepatu Baru, Bogor, Juni 2001

Studi Kohort (300 karyawan, 120 kasus)

 

Makanan

Makan

Tidak Makan

RR α 5 % *)

Populasi

Kasus

AR/100

Populasi

Kasus

AR/100

Nasi

280

113

40

20

7

35

1.1 (0.6-2.1)

Semur daging

270

110

40.7

30

10

33.3

1.2 (0.7-2.0)

Tempe

220

100

45.4

80

20

25

1.2 (1.0-2.4)

Karedok

130

115

95.8

170

5

3.0

16.4 (6.9-39.4)

Air Minum

250

100

40

50

20

40

1.00 (0.7-1.5)

Kerupuk

22

22

100

178

98

55.0

1.4 (1.0-2.0)

Telur Goreng

50

47

94

250

73

29.2

2.1 (1.6-2.9)

                *) Epi info

      Berdasarkan analisis risiko relatif untuk setiap jenis makanan, maka dapat disimpulkan bahwa nasi, semur daging, tempe, dan air minum tidak menunjukkan perbedaan risiko yang besar antara yang makan dan yang tidak makan. Kerupuk dan telor goreng mempunyai perbedaan risiko sedang, sedang makan karedok mempunyai risiko yang sangat besar dibanding yang tidak makan karedok.

      Kesimpulan ini sebaiknya diuji dengan pemeriksaan laboratorium, yaitu ditemukannya racun pada karedok yang sama dengan racun yang terdapat pada karyawan sakit. Bagaimanapun juga, teridentifikasinya karedok sebagai sumber keracunan sudah merupakan informasi yang sangat berharga untuk menelusuri lebih jauh lagi penyebab karedok terdapat racun, disamping itu, dengan menyingkirkan karedok dari makanan yang disajikan, maka makanan ransum sudah kembali aman.

(e)  Hubungan Khusus Antara Kasus dan Sumber Keracunan

      Terdapat beberapa kondisi khusus yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber keracunan yang dapat dimanfaatkan dengan cepat, antara lain:

1.    Makanan Yang Tidak Dimakan oleh Korban Keracunan

      Pada dasarnya orang yang menderita sakit (kasus keracunan) harus makan makanan yang mengandung racun, dan apabila orang tersebut ternyata tidak makan suatu makanan tertentu, maka dapat dikatakan bahwa makanan tersebut kemungkinan besar tidak mengandung racun.

Contoh, sumber keracunan pada KLB dicurigai adalah kantin, warung di sekolah dan penjaja, maka ditanyakan pada sekitar 50 penderita riwayat makan di 3 tempat makan tersebut pada 3 hari terakhir ini, dan hasilnya adalah sebagai berikut:

 

 

Tempat Makan

Riwayat makan 3 hari terakhir pada 50 kasus (sakit)

makan

Tidak makan

keterangan

Kantin

40

10

Bukan sumber

Warung

48

2

Mungkin sumber

penjaja

30

20

Bukan sumber

 

Maka dengan memperhatikan jumlah yang tidak makan, dapat disingkirkan kemungkinan tempat makan tersebut sebagai sumber keracunan, yaitu kantin dan penjaja terdapat 10 dan 20 penderita yang tidak makan, oleh karena itu kantin dan penjaja dapat disingkirkan kemungkinannya sebagai sumber keracunan.

Pada dasarnya orang yang tidak terpapar racun adalah tidak menderita sakit keracunan, tetapi pada suatu populasi orang yang menderita keracunan atau menderita penyakit lain yang gejalanya mirip seperti orang yang terpapar racun selalu ada dalam populasi dalam jumlah normal. Oleh karena itu, apabila sejumlah orang makan-makanan tertentu kemudian yang menderita keracunan atau menderita penyakit yang gejalanya mirip seperti orang yang terpapar racun adalah dalam jumlah lebih dari keadaan normal, maka makanan tersebut perlu dicurigai sebagai makanan yang mengandung bahan racun.

2.    Tamu Sebagai Korban Keracunan Istimewa

      Pada pesta atau kantin di perusahaan yang terjadi KLB keracunan, perlu dicari orang diluar kelompok umum, misalnya adanya tamu dari jauh yang hanya satu hari saja ikut makan di tempat ini, dsb. Kasus-kasus ini sering lebih mudah mengungkapkan  sumber makanan beracun dalam pesta atau kantin, terutama waktu paparan.

3.    Pesta Sebagai Sumber Keracunan

      Pada umumnya, apabila terjadi KLB keracunan pangan sesudah pesta, makan bersama dan sebaginya, maka tuduhan pertama sebagai sumber keracunan adalah makanan yang disajikan pada pesta. Penyelidik yang berpengalaman akan selalu berhati-hati dengan pernyataan tersebut, karena sumber keracunan kemungkinan berada di luar pesta.

 

 

4.    Penjaja Makanan Sebagai Tertuduh Sumber Keracunan

      Berdasarkan pengalaman penyelidikan KLB keracunan makan yang terjadi pada suatu perusahaan, asrama atau hotel, biasanya diduga karena makanan yang diperoleh dari luar, sehingga penutupan segera dilakukan terhadap penjual makanan yang ada di sekitar perusahaan. Tindakan penutupan penjaja makanan seperti itu memang tindakan tepat apabila sumber keracunan adalah benar pada para penjaja tersebut. Tetapi kalau tidak benar, maka semua karyawan dan petugas kesehatan berada dalam keadaan berbahaya, karena merasa aman dengan perasaan hilangnya sumber keracunan yang ada, sementara sumber keracunan sebenarnya masih berada dalam lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, penyelidik harus selalu membangun profesionalisme dalam proses penyelidikan sesuai dengan prosedur epidemiologi dan tidak terpengaruh oleh tekanan pendapat berbagai pihak yang tidak memiliki keahlian memadai.

3.    Formulir Penyelidikan KLB Keracunan Pangan.

F.  Tujuan Penyelidikan KLB

     Tujuan Umum:

- Mencegah meluasnya KLB (penanggulangan)

- Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian=controle)

    Tujuan Khusus:

-     Diagnosis khusus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit.

-     Memastikan bahwa keadaan yang menyebabkan KLB

-     Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi KLB.

G. Kriteria Kerja KLB (Kep.Dirjen PPM No. 451/91) tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan KLB

Tergolong Kejadian Luar Biasa, jika ada unsur:

-     Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal.

-     Peningkatan kejadian penyakit terus-menerus selama 2 kurun waktu  berturut-turut menurut penyakitnya (jam, hari, minggu).

-     Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).

-     Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun  sebelumnya

H. Prosedur Penyelidikan KLB karena Pangan

1. Persiapan penelitian lapangan.

2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB.

3. Memastikan diagnosa Etiologis.

4. Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan.

5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu dan tempat.

6. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan)

7. Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran.

8. Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB.

9. Merencanakan penelitian lain yang sistimatis.

10.Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan.

11. Menetapkan sistim penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi.

12. Melaporkan hasil penyelidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepada sistim pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

I.    Pengolahan dan Analisis Data hasil penyelidikan KLB karena Makanan

- Deskripsi KLB

  1. Deskripsi Kasus Berdasarkan Waktu

       Penggambaran Kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB berlangsung) digambarkan dalam suatu kurva epidemik)

Kurva epidemik:

- Grafik yg menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat mulai sakit (onset off illness) selama periode periode wabah)

- Axis horizontal adalah saat mualinya sakit, axis vertikal adalah jumlah kasus.

2. Deskripsi Kasus berdasarkan Tempat

        Tujuan:

-       Untuk mendapatkan petunjuk  populasi yang rentan kaitannya dengan

   tempat (tempat tinggal, tempat pekerjaan).

- Hasil analisis ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber penularan.

Agar supaya tujuan ini tercapai, maka kasus  dapat dikelompokkan menurut:

     Daerah variabel geografi (tempat tinggal, blok sensus).

     Tempat pekerjaan, tempat (lingkungan) pembuangan limbah, tempat rekreasi, sekolah, kesamaan hubungan (kesamaan distribusi air, makanan), kemungkinan kontak dari orang ke orang atau melalui vektor (CDC, 1979, Friedman, 1980).

3. Deskripsi KLB berdasarkan Orang

 - Teknik ini digunakan untuk membantu  merumuskan hipotesis sumber penularan  atau etiologi penyakit.

         - Orang dideskripsikan menurut variabel umur, jenis kelamin, ras, status kekebalan, 

       status perkawinan, tingkah laku, atau  kebudayaan setempat.

- Distribusi penyakit berdasarkan sifat-sifat yang lain dapat dikerjakan jika sifat-

sifat tersebut ditemukan berulang-ulang diantara kasus.

Misalnya: kategori kasus berdasarkan pekerjaan dilakukan jika diantara kasus jenis pekerjaan tertentu ditemukan berulang-ulang.

PENANGGULANGAN KLB

Penanggulangan KLB meliputi kegiatan penyelidikan KLB, pengobatan dan upaya pencegahan jatuhnya korban baru dan survelans ketat.

(1)   Penyelidikan KLB

Dimulai pada saat informasi pertama adanya kasus keracunan atau diduga keracunan. Tim penyelidikan KLB melakukan diskusi intensif dengan setiap dokter atau petugas kesehatan lain yang menangani penderita untuk menetapkan deferensial diagnosis dan menyusun tabel distribusi gejala.

Pemeriksaan laboratorium diarahkan pada pemeriksaan etiologi yang dicurigai. Penyelidikan KLB diarahkan pada upaya penemuan kasus-kasus baru dan kelompok-kelompok atau orang-orang yang rawan akan menderita sakit, untuk pengobatan dan pengobatan dan pengendalian sumber keracunan yang lebih cepat, tepat dan efisien.

(2)  Pengobatan dan Pencegahan

a)    Tim penanggulangan KLB segera berkoordinasi dengan tim rumah sakit dan klinik-klinik yang akan mengobati penderita serta anggota masyarakat dalam pemilahan kasus berat dan ringan, rujukan dan pengobatan penderita.

b)    Pengobatan terutama diarahkan pada upaya-upaya penyelamatan penderita. Setelah etiologi dapat diketahui, upaya netralisasi racun dan tindakan spesifik dapat diterapkan dengan tepat.

c)    Untuk menghindari jatuhnya korban berikutnya, maka semua sumber makanan yang mengandung racun atau yang diduga mengandung racun disimpan agar tidak dimakan atau digunakan sebagai bahan campuran makanan. Tetapi apabila jenis makanan yang dicurigai sudah diketahui dengan tepat, maka makanan lain yang sudah dipastikan tidak mengandung bahan beracun harus segera diinformasikan kepada pemiliknya bahwa makanan atau bahan makanan tersebut aman.

(3)  Surveilans Ketat

Diarahkan pada perkembangan KLB menurut waktu, tempat dan orang dan efektifitas pengobatan serta upaya pencegahan adanya korban baru.

Apabila tidak ada korban baru, berarti sumber bahan beracun sudah tidak memapari orang lagi, dan KLB dapat dinyatakan berakhir.

Apabila kurva KLB sudah turun serta konsisten, maka dapat disimpulkan bahwa penularan telah berhenti, tetapi kasus baru diperkirakan masih akan bermunculan sampai masa inkubasi terpanjang telah tercapai.

        Latihan Soal:

1.    Di bawah ini tersaji data/list kasus penduduk pada suatu KLB yang digunakan

karena keracunan makanan. Kejadian ini meliputi penduduk dalam satu  RW. Yang berjumlah 200 orang. Karena kesulitan pencarian data, hanya terjaring 128 penduduk, 83 sakit dan 45 tidak sakit. Selain itu, dari penyelidikan informasi yang disajikan juga kurang lengkap.

Soal:

a. Buatlah deskripsi KLB berdasarkan waktu, tempat dan orang.

b. Buatlah analisis dari setiap deskripsi semaksimal mungkin.

c. Buat suatu kesimpulan sementara  dari analisis anda.

d. Deskripsikan data yang anda butuhkan untuk langkah-langkah berikutnya.

 

      Distribusi kasus berdasarkan orang

       Distribusi Frekuensi Kasus KLB Keracunan Makanan Berdasarkan Jenis Kelamin  

       Pada Sebuah Jamuan Makan Malam di Y, Tahun 2013.

Jenis Kelamin

Jumlah

%

Laki-laki

30

36,14

Perempuan

53

63,86

 

 

Distribusi Frekuensi Kasus KLB Keracunan Makanan Berdasarkan Umur Pada Sebuah Jamuan Makan Malam di Y, Tahun 2013

Umur (th)

Jumlah

%

0 – 10          

10

12.1

11-20

11

13.2

21-30

0

0.0

31-40

11

13.2

41-50

9

10.8

51-60

10

12.1

61-70         

6

7.2

> 71

10

12.1

Tidak diketahui

16

19.3

Jumlah

83

100

 

 

 

Distribusi Frekuensi Kasus KLB Keracunan Makanan Berdasarkan Waktu Ditemukan Pada Sebuah Jamuan Makan Malam di Y, Tahun 2013

Hari

Malam

(am)

Siang

(pm)

Tidak diketahui

Senin

8

8

5

Selasa

7

2

4

Rabu

-

2

1

Minggu

1

35

1

 

J.  PENANGGULANGAN SEMENTARA

      Penanggulangan sementara sudah dapat dilakukan atau diperlukan, sebelum semua tahap penyidikan dilampaui.

      Kecepatan keputusan cara penanggulangan sangat tergantung dari diketahuinya etiologi penyakit sumber dan cara penularannya (Goodman et al, 1990), sebagai berikut :

Sumber dan Cara penularan

E

T

I

O

L

O

G

I

Tahu

Tidak

T

A

H

U

Penyidikan

Penanggulangan

Penyidikan

Penanggulangan

T

I

D

A

K

Penyidikan

Penanggulangan

Penyidikan

Penanggulangan

 

K. Identifikasi Sumber Penularan dan  Keadaan Penyebab KLB

1.  Identifikasi Sumber Penularan

     Mengetahui sumber dan cara:

- Membuktikan adanya agent pada sumber penularan secara laboratoris atau adanya  hubungan secara statistik antara kasus dan pemaparan (MacMohan and Pugh, 1970, CDC, 1979).

- Menurut MacMohan and Pugh (1970), CDC (1979) dan Kelsey et al (1986), penentuan dugaan sumber dan cara penularan penyakit dianggap telah baik jika:

              1). Ditemukan agent yang sama antara sumber infeksi dan penderita.

              2). Terdapat perbedaan angka serangan (attack rate) yang bermakna antara 

orang-orang yang terpapar dan yang tidak terhadap sumber penularan.

3).Tidak ada cara lain pada semua kasus, atau cara penularan lain tidak dapat menerangkan distribusi umur waktu dan geografis pada semua kasus.

2. Perencanaan Penelitian Lain yang Sistematis

     KLB merupakan kejadian yang alami (natural)

     Penyidikan KLB merupakan kesempatan baik untuk melakukan penelitian

     Setiap Penyidikan KLB sebaiknya digunakan sebagai sarana mendapatkan informasi untuk perbaikan program kesehatan pada umumnya dan program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan sistim surveilens pada khususnya.

     Penyidikan KLB selalu dilakukan:

     Pengkajian terhadap sistim surveilens yang ada, untuk mengetahui kemampuannya sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi dan pemenuhan kewajiban pelaksanaan sistim surveilens.

L.  Evaluasi terhadap program kesehatan.

M. PENYUSUNAN REKOMENDASI

a.  Tujuan utama penyidikan KLB adalah merumuskan tindakan untuk mengakhiri KLB pada situasi yang dihadapi (penanggulangan) dan mencegah terulangnya KLB dimasa mendatang (pengendalian).

b.  Tindakan penanggulangan KLB didasari  atas diketahuinya etiologis, sumber dan cara penularan.

 

Tabel 1. Beberapa cara dalam penanggulangan KLB

Tindakan

Contoh

Menghilangkan sumber penularan

Menjauhkan sumber penularan dari orang

Membunuh bakteri pada sumber penularan

Melakukan isolasi atau pengobatan pada orang yang diduga sebagai sumber penularan

Memutuskan rantai penularan

Sterilisasi sumber pencemaran

Mengendalikan vektor

Peningkatan hygiene perorangan

Merubah respon orang terhadap penyakit

Melakukan immunisasi

Mengadakan pengobatan

 

N. Sistim Surveilens

     Sistem Surveilens diperlukan untuk:

-  Untuk evaluasi terhadap tindakan penanggulangan yang dijalankan

-  Sistim surveilens penyakit di masyarakat (menggunakan tenaga masyarakat) biasanya lebih dipergunakan untuk memantau kasus baru dan komplikasinya.

O. Penyelidikan Kejadian Luar Biasa karena Pangan

Kejadian Luar Biasa adalah Kejadian dimana terdapat 2 (dua) orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi suatu pangan dan berdasarkan analisis epidemiologi pangan tersebut terbukti sebagai penyebabnya.

P.  Penentuan Terjadinya Kejadian Luar Biasa

Bila melampaui base line jumlah kasus pada suatu populasi dan dibandingkan dengan periode waktu tertentu.

N. Investigasi KLB Keracunan Pangan

Serangkaian kegiatan yang sistematis terhadap KLB keracunan pangan untuk mengungkap penyebab, sumber penyakit dan cara penyebaran serta distribusi KLB menurut variabel Epidemiologi.

O.Tujuan Investigasi KLB                                                              

Umum: memberikan dukungan upaya penanggulangan keracunan serta     mendapatkan informasi epidemiologi.

Khusus:

1.  Produk pangan yang telah terkontaminasi.

2.  Mengidentifikasi dan menanggulangi korban.

3.  Mengidentifikasi pangan yang beresiko.

4.  Mengidentifikasi faktor resiko terjadi KLB.

5.  Menarik Menghentikan penyebarluasan penyakit.

6.  Membuat rekomendasi agar tidak terjadinya KLB di masa yang akan datang.

P. Sifat Wabah                                                      

Penularan penyakit dalam masyarakat umumnya berjalan sesuai dengan pola kejadian penyakit serta sifat penularannya secara umum. Mekanisme penularan penyakit dalam masyarakat dapat menyebabkan terjadinya tingkat kesakitan yang biasa (bersifat endemik) dan mungkin pula tingkat kesakitan lebih dari yang diharapkan (keadaan luar biasa atau wabah). Menurut sifatnya wabah dapat dibagi dalam dua bentuk utama, yakni bentuk common source dan bentuk propagated atau progressive. Secara umum, kedua bentuk wabah ini dapat dibedakan dengan membuat grafik penyebaran kasus/kejadian berdasarkan waktu mulainya sakit (onset time) yang biasanya disebut kurva epidemi.

1.  Common Source Epidemic

Keadaan wabah dengan bentuk common source (CSE) adalah suatu letusan penyakit yang disebabkan oleh terpaparnya sejumlah orang dalam suatu kelompok secara menyeluruh dan terjadinya dalam waktu yang relatif singkat (sangat mendadak). Jika keterpaparan kelompok serta penularan penyakit berlangsung sangat cepat dalam waktu yang sangat singkat (point of epidemic atau point of source of epidemi), maka resultant dari semua kasus/kejadian berkembang hanya dalam satu masa tunas saja, pada dasarnya dijumpai bahwa CSE kurva epidemi mengikuti suatu distribusi normal, sehingga dengan demikian bila proporsi kumulatif kasus digambarkan menurut lamanya kejadian sakit (onset) akan terbentuk suatu garis lurus. Median dari masa tunas dapat ditentukan secara mudah dengan membaca waktu median masa tunas dapat menolong kita dalam mengidentifikasi agen penyebab, mengingat tiap jenis agen mempunyai masa tunas tertentu.

Pada gambar berikut ini memperlihatkan waktu onset penyakit dari suatu kejadian letusan wabah keracunan makanan (food intoxication) pada suatu asrama mahasiswa tugas belajar, melihat cepatnya naik dan turun dari kurva epidemi tersebut tampaknya sangat sesuai dengan sifat dari suatu point source epidemic.

Gambar 9.1.Gambaran Kejadian Letusan Diare Karena Keracunan

Makanan di Asrama Mahasiswa

 

10-Sep

11-Sep

Waktu terjadinya gejala pertama menurut jam

 

Jika bahan perantara (vehicle) atau sumber epidemi (termasuk makanan, air maupun udara) masih kemungkinan epidemi terus berlangsung, maka keadaan menjadi lebih kompleks. Mengingat bahwa kurva epidemi terbentuk dari keterpaparan berganda pada waktu yang berbeda dan disertai dengan masa tunas yang bervariasi, maka puncak kurva akan kurang memperlihatkan puncak yang tajam dan letusan penyakit akan berlangsung lebih lama.

Gambar tersebut di atas adalah kejadian letusan pada suatu asrama mahasiswa setelah mereka makan bersama pada suatu pesta wisuda yang dilakukan tanggal 10 September jam 19.00 malam. Dari lebih seratus hadirin yang ikut makan bersama, ternyata 78 orang mengalami keracunan makanan dengan gejala diare ringan dan sedang yang kejadiannya sangat singkat yakni sekitar 2 jam setelah pesta dimulai dan kasus berakhir adalah pada jam 15.00 keesokan harinya. Penyebaran  insidensi kasus pada gambar di atas menunjukkan gambaran dengan satu puncak epidemi. Sedang jarak kejadian antara satu kasus dengan kasus lainnya menunjukkan waktu yang sangat pendek hanya dalam jam. Dalam hal ini perbedaan jarak antara waktu keterpaparan (waktu pesta/waktu makan) dengan waktu timbulnya gejala pertama pada individu dapat disebabkan karena perbedaan daya tahan perorangan, tetapi dapat pula karena perbedaan dosis yang dimakan terutama jenis makanan yang mengandung bakteri penyebab (bakteri atau terutama toksinnya).

Gambar di atas menunjukkan suatu keadaan letusan gastroenteritis yang disebabkan oleh Clostridium perfringens dengan masa tunas yang bervariasi antara 7 sampai 24 jam setelah keterpaparan dengan frekuensi tertinggi terjadi pada 12 jam setelah keterpaparan tersebut. Bentuk ini sangat spesifik untuk letusan yang disebabkan oleh mikro-organisme tersebut.

Dari bentuk letusan yang terjadi biasanya dapat diterka penyebabnya atau sekurang-kurangnya dari kelompok penyebab yang mana yang menimbulkan wabah tersebut. Salah satu contoh yang menarik adalah timbulnya letusan pada tahun 1976 di Philadelphia selama musim panas yakni sewaktu dilakukan suatu konvensi American Legion. Penelitian wabah yang dilakukan oleh tim ahli menemukan patogem penyebab yang sebelumnya dikenal yakni Legionella pneumophili. Tetapi setelah dipelajari dan dianalisa sifat epidemiologis wabah, maka dikemukakan bahwa penyakit seperti ini bukanlah sesuatu yang baru tetapi sebenarnya organisme ini telah menimbulkan beberapa wabah yang sama sebelumnya. Dengan demikian maka sejak terjadinya wabah di Philadelphia tahun 1976 tersebut dengan 221 penderita dan 34 orang meninggal, maka beberapa letusan lainnya dapat segera dikenal. Sejak adanya letusan penyakit tersebut di Philadelphia, maka secara epidemiologistelah ditemukan berbagai informasi tentang penyakit tersebut yang ternyata sudah sering terjadi letusan pada beberapa tempat, walaupun dalam keadaan yang lebih ringan dengan angka kematian yang rendah sekali. Disamping itu diketemukan pula berbagai gambaran sifat epidemiologis penyakit ini seperti angka insidensi lebih tinggi pada pria daripada wanita, serta beberapa faktor lain ikut mempengaruhi kejadian penyakit ini.

Point source epidemic dapat pula terjadi pada penyakit oleh faktor penyebab bukan infeksi yang menimbulkan keterpaparan umum seperti adanya zat beracun polusi zat kimia yang beracun di udara terbuka.

2.  Propagated atau progressive epidemic

Bentuk epidemi ini terjadi karena adanya penularan dari orang ke orang baik secara langsung maupun tidak langsung melalui udara, makanan atau vektor. Kejadian epidemi semacam ini relatif lebih lama waktunya sesuai dengan sifat penyakit serta lamanya masa tunas. Juga sangat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk serta penyebaran anggota masyarakat yang rentan terhadap penyakit tersebut. Masa tunas penyakit tersebut di atas adalah sekitar satu bulan sehingga tampak bahwa masa epidemi cukup lama dengan situasi peningkatan jumlah penderita dari waktu ke waktu sampai pada masa dimana jumlah anggota masyarakat yang rentan mencapai batas yang minimal. Pada saat sebagian besar anggota masyarakat sudah terserang penyakit, maka jumlah yang rentan mencapai batas kritis, sehingga kurva epidemi mulai menurun sampai batas minimal.

Bila kita bandingkan kedua bentuk epidemi tersebut di atas maka jelas tampak perbedaan terutama dalam kurva epidemi menurut waktu. Pada letusan dengan bentuk common source epidemic, tampak kurva epidemi yang meningkat secara cepat dan juga menurun sangat cepat dalam batas satu masa tunas saja, sehingga angka serangan kedua (secondary attack rate) tidak dijumpai pada bentuk ini. Di lain pihak, bentuk kurva epidemi pada propagated epidemic berkembang lanjut dan melampaui satu masa tunas. Pada keadaan tertentu dengan sistem survellans yang baik, kita dapat menentukan turunan dari setiap kasus pada angka serangan berikutnya. Namun demikian, kadang-kadang terjadi variasi masa tunas yang dapat mengaburkan pola epidemi yang terjadi.

Selain dari kedua bentuk epidemi tersebut di atas, masih dikenal pula bentuk epidemi lain yang dihasilkan oleh penyakit menular yang penyebarannya melalui vektor (vector borne epidemics). Bentuk epidemi ini biasanya agak sama kecilnya dengan area dari common source epidemic, tetapi dalam lingkuaran penularannya dapat dijumpai peranan zoonosis, manusia atau campuran dari keduanya sebagai sumber penularan kepada vektor. Kebanyakan wabah vektor borne mempunyai lingkaran penularan berganda antara vektor dan host sebelum cukup banyak kasus manusia yang terserang untuk dapat dinyatakan sebagai suatu wabah.

Ada kemungkinan dimana kita sulit untuk menentukan keadaan dan sifat suatu epidemi dengan hanya berdasarkan pada kurva epidemi semata. Umpamanya suatu kurve yang khas sebagai bentuk point source/common source mungkin dipengaruhi oleh perkembangan terjadinya kasus sekunder, yang terjadi karena berlanjutnya kontaminasi dengan sumber penularan atau mungkin pula oleh karena lamanya dan adanya variasi dari masa tunas. Di lain pihak, pada penyakit influensa klasik umpamanya yang bersifat propagated dengan masa tunas yang relatif pendek dan sifat infestitas yang cukup tinggi, dapat menghasilkan kurva epidemi yang cepat naik dan cepat pula turun sehingga mirip dengan kurve common source epidemic. Namun sebenarnya sifat penyebaran penyakit menurut tempat (penyebaran geografis) dapat membantu kita untuk membedakan kedua jenis epidemi tersebut. Dalam hal ini, bentuk propagated lebih cenderung memperlihatkan penyebaran geografis yang sesuai dengan urutan generasi kasus.

Sebenarnya bila kita menganalisa secara luas maka awal dari suatu wabah pada dasarnya lebih banyak ditentukan oleh perilaku pejamu, dibanding dengan sifat infeksi/penularan maupun sifat kimiawi dari produk mikro-organisme, seperti halnya dengan agen infeksi, maka idea serta pola tingkah laku dapat pula disebarkan dari orang ke orang. Kemampuan penularan dari pola tingkah laku telah diamati sejak lama, mulai dari tarian kegilaan (dancing maniac) pada abad pertengahan sampai pada ledakan gejala histeris pada akhir-akhir ini yang memberikan suatu sifat yang mudah menular dalam masyarakat. Penyalah-gunaan obat terlarang dewasa ini telah merupakan suatu fenomena tingkah laku dewasa ini dapat menyebarkan berbagai bentuk penyakit menular yang sebelumnya telah diketahui cara penyebarannya. Sebagai contoh, penyakit hepatitis b dan malaria telah menyebar dan meluas melalui berbagai alat yang digunakan dalam penggunaan obat. Perkembangan kasus tidak hanya tergantung pada penularan dari orang ke orang, tetapi juga erat hubungannya dengan kuatnya ikatan atau kebersamaan dalam kelompok tertentu. Kebiasaan yang berkaitan erat dengan penggunaan obat melalui suntikan, atau merokok adalah sama peranannya dengan efek fisiologis pada tingkat awal penyakit.

Secara konseptual dan secara teoritis maka rantai peristiwa pada suatu letusan common source (common vehicle) epidemic relatif tampaknya sangat sederhana. Dengan melakukan pengamatan yang berkesinambungan terhadap keterpaparan umum, maka pada suatu saat sejumlah tertentu dari mereka yang terpapar tersebut akan menderita penyakit (tidak seluruhnya). Penderita yang muncul dari kelompok tersebut mempunyai waktu sakit (onset time) yang berbeda-beda sesuai dengan rentangan masa tunas kejadian penyakit tersebut.

Sedangkan pada epidemi bentuk propagated/progressive, upaya penentuannya akan lebih sulit. Hal ini terutama disebabkan karena tingkat penularan penyakit/infeksi dari orang ke orang yang potensial lainnya sangat tergantung kepada berbagai faktor, terutama jumlah orang yang kebal/rentan (peka) dalam populasi tersebut (keadaan herd immunity). Disamping itu juga sangat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk dan mobilitas penduduk setempat.

 

 

PELACAKAN KEJADIAN LUAR BIASA

1.  Garis Besar Pelacakan Wabah/Kejadian Luar Biasa

Usaha pelacakan kejadian luar biasa/wabah merupakan suatu kegiatan yang cukup menarik dalam bidang epidemiologi. Kebersihan suatu kegiatan pelacakan wabah sangat ditentukan oleh berbagai kegiatan khusus. Pengumpulan data dan informasi secara seksama langsung di lapangan/tempat kejadian, yang disusul dengan analisis data yang diteliti dengan ketajaman pemikiran merupakan landasan dari suatu keberhasilan pelacakan. Dengan demikian maka dalam usaha pelacakan suatu peristiwa luar biasa atau wabah, diperlukan adanya suatu garis besar tentang sistematika langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dan dikembangkan dalam setiap usaha pelacakan. Langkah-langkah ini hanya merupakan pedoman dasar yang kemudian harus dikembangkan sendiri oleh setiap investigator (pelacak) dalam menjawab setiap pertanyaan yang mungkin timbul dalam kejadian pelacakan tersebut, walaupun penentuan langkah-langkah tersebut sangat tergantung pada tim pelacak, namun beberapa hal yang bersifat prinsip dasar seperti penentuan diagnosis serta penentuan adanya wabah harus mendapatkan perhatian lebih awal dan harus ditetapkan sedini mungkin.

2.  Analisis Situasi Awal

Pada tahap awal pelacakan suatu situasi yang diperkirakan bersifat wabah atau situasi luar biasa, diperlukan sekurang-kurangnya empat kegiatan awal yang bersifat dasar dari pelacakan.

a.    Penentuan/Penegakan Diagnosis

Untuk kepentingan diagnosis maka diperlukan penelitian/pengamatan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Harus diamati secara tuntas apakah laporan awal yang diperoleh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (perhatikan tingkat kebenarannya). Umpamanya wabah penyakit “demam berdarah” harus jelas secara klinis maupun laboratorium. Hal ini mengingat gejala demam berdarah dapat didiagnosis secara tidak tepat. Disamping itu, pemeriksaan laboratorium kadang-kadang harus dilakukan lebih dari satu kali.  Dalam menegakkan diagnosis, harus pula ditetapkan seseorang dapat dinyatakan sebagai kasus. Dalam hal ini sangat tergantung pada keadaan dan jenis masalah yang sedang dihadapi. Seseorang dapat dinyatakan kasus hanya dengan gejala klinis saja, atau dengan pemeriksaan laboratorium saja atau keduanya. Umpamanya wabah diare, bila kita mengarah pada masalah diare secara umum, maka gejala klinis tertentu sudah cukup untuk menentukan kasus atau bukan kasus. Tetapi bila masalah diare lebih diarahkan khusus untuk Eltor, maka pemeriksaan laboratorium sangat menentukan disamping gejala klinis dan analisis epidemiologi.

b.    Penentuan Adanya Wabah

Sesuai dengan definisi wabah dan kejadian luar biasa, maka untuk menentukan apakah situasi yang sedang dihadapi adalah wabah atau tidak, maka perlu diusahakan melakukan perbandingan keadaan jumlah kasus sebelumnya untuk melihat apakah terjadi kenaikan frekuensi yang istimewa atau tidak.

c.    Uraian Keadaan Wabah

Bila keadaan dinyatakan wabah, lakukan uraian keadaan wabah berdasarkan tiga unsur utama yakni, waktu, tempat dan orang. Buatlah kurva epidemi dengan menggambarkan penyebaran kasus menurut waktu mulainya timbul gejala penyakit. Disamping itu gambarkan penyebaran sifat epidemi berdasarkan kasus menurut tempat (spot map epidemi). Lakukanlah berbagai perhitungan epidemiologi seperti perhitungan angka kejadian penyakit pada populasi dengan resiko menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan, keterpaparan terhadap faktor tertentu (makanan, minuman atau faktor penyebab lainnya) serta berbagai sifat orang lainnya yang mungkin berguna dalam analisis. Juga hal ini melakukan identifikasi berbagai sifat yang mungkin berkaitan dengan timbulnya penyakit merupakan langkah yang sangat penting sekali dalam usaha memecahkan masalah wabah.

3.  Analisis Lanjutan

Setelah melakukan analisis awal dan menetapkan adanya situasi wabah, maka selain tindak pemadaman wabah, perlu dilakukan pelacakan lanjut serta analisis yang berkesinambungan. Ada beberapa hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian pada tindak lanjut tersebut.

a.    Usaha Penemuan Kasus Tambahan

Untuk hal tersebut harus ditelusuri kemungkinan adanya kasus yang tidak dikenal dan kasus yang tidak dilaporkan melalui berbagai cara.

1)    Adakan pelacakan ke rumah sakit dan ke dokter praktek umum setempat untuk mencari kemungkinan mereka menemukan kasus penderita penyakit yang sedang diteliti dan belum masuk dalam laporan yang ada

2)    Adakan pelacakan yang intensif terhadap mereka yang tanpa gejala atau mereka dengan gejala ringan/tidak spesifik tetapi mempunyai potensi menderita atau termasuk kontak dengan penderita. Keadaan ini sering dijumpai pada beberapa penyakit tertentu. Umpamanya pada penyakit hepatitis, yang selain penderita dengan klinik jelas, juga kemungkinan adanya penderita dengan gejala ringan tanpa gejala kuning, dimana diagnosa hanya mungkin ditegakkan dengan melalui pemeriksaan laboratorium (tes fungsi hati).

b.    Analisis Data

Lakukan analisis data secara berkesinambungan sesuai dengan tambahan informasi yang didapatkan dan laporkan hasil interpretasi data tersebut.

c.    Menegakkan Hipotesis

Berdasarkan hasil analisis dari seluruh kegiatan, dibuat keputusan yang bersifat hipotesis tentang keadaan yang diperkirakan. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa kesimpulan dari semua fakta yang ditemukan harus sesuai dengan apa yang tercantum dalam hipotesis tersebut.

d.    Tindakan Pemadaman Wabah dan Tindak lanjut

Tindakan diambil berdasarkan hasil analisis dan sesuai dengan keadaan wabah yang terjadi. Harus diperhatikan bahwa setiap tindakan pemadaman wabah harus disertai dengan berbagai kegiatan tindak lanjut (follow-up) sampai keadaan sudah normal  kembali. Biasanya kegiatan tindak lanjut dan pengamatan dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali masa tunas penyakit yang mewabah. Setelah keadaan normal, maka untuk beberapa penyakit tertentu yang mempunyai potensi dapat menimbulkan keadaan luar biasa, disusunkan suatu program pengamatan yang berkesinambungan dalam bentuk surveiilans epidemiologi, terutama pada kelompok dengan resiko tinggi.

Pada akhir dari setiap pelacakan harus dibuat laporan lengkap yang dikirim kepada semua instansi terkait. Laporan tersebut meliputi berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya wabah, analisis dan evaluasi upaya yang telah dilaksanakan serta saran-saran untuk mencegah berulangnya kejadian luar biasa untuk masa yang akan datang. (memberikan rekomendasi dan laporan.

No.

Golongan Umur

Populasi rentan

Korban

Attack Rate per 100

1

< 7 th

10

1

10/100

2

7 – 12 th

150

50

33/100

3

Ø  12 th

30

6

20/100

 

Total

190

57

 

 

Populasi rentan  adalah kelompok orang yang diduga mendapat serangan keracunan, ada yang jatuh sakit dan ada yang tidak.

Attack Rate adalah jumlah kasus pada periode KLB dibagi dengan populasi rentan dikalikan 100.

Distribusi korban menurut jenis kelamin pada KLB keracunan pangan di kota Kudus

No.

Jenis Kelamin

Populasi Rentan

Korban

Attack Rate

 

1

Laki-laki

40

20

50/100

2

Perempuan

150

37

23/100

 

Total

190

57

 

 

 

 

Distribusi korban menurut jenis makanan pada KLB keracunan pangan di Gudeg

No.

Nama

Kelompok Makan

 

Kelompok Tidak Makan

 

 

K

AR/100

(a)

K

AR/100

(b)

RR (a/b)

1

A

150

30

 

50

27

 

 

2

B

160

35

 

30

22

 

 

3

C

50

45

 

140

12

 

 

 

Pada KLB keracunan pangan, tabel kelompok terpapar dibandingkan dengan kelompok tidak terpapar.

Dengan membandingkan relatif risk (RR) antar kelompok jenis makanan yang dimakan, maka dapat ditentukan sumber pencemaran.

RR yang lebih besar menunjukkan dugaan sumber pencemaran yang lebih mendekati kebenaran.

 

 

PENANGGULANGAN KLB

Penanggulangan KLB meliputi kegiatan penyelidikan KLB, pengobatan dan upaya pencegahan jatuhnya korban baru dan survelans ketat.

1.     Penyelidikan KLB

Dimulai pada saat informasi pertama adanya kasus keracunan atau diduga keracunan. Tim penyelidikan KLB melakukan diskusi intensif dengan setiap dokter atau petugas kesehatan lain yang menangani penderita untuk menetapkan deferensial diagnosis dan menyusun tabel distribusi gejala.

Pemeriksaan laboratorium diarahkan pada pemeriksaan etiologi yang dicurigai. Penyelidikan KLB diarahkan pada upaya penemuan kasus-kasus baru dan kelompok-kelompok atau orang-orang yang rawan akan menderita sakit, untuk pengobatan dan pengobatan dan pengendalian sumber keracunan yang lebih cepat, tepat dan efisien.

(4)  Pengobatan dan Pencegahan

d)    Tim penanggulangan KLB segera berkoordinasi dengan tim rumah sakit dan klinik-klinik yang akan mengobati penderita serta anggota masyarakat dalam pemilahan kasus berat dan ringan, rujukan dan pengobatan penderita.

e)    Pengobatan terutama diarahkan pada upaya-upaya penyelamatan penderita. Setelah etiologi dapat diketahui, upaya netralisasi racun dan tindakan spesifik dapat diterapkan dengan tepat.

f)     Untuk menghindari jatuhnya korban berikutnya, maka semua sumber makanan yang mengandung racun atau yang diduga mengandung racun disimpan agar tidak dimakan atau digunakan sebagai bahan campuran makanan. Tetapi apabila jenis makanan yang dicurigai sudah diketahui dengan tepat, maka makanan lain yang sudah dipastikan tidak mengandung bahan beracun harus segera diinformasikan kepada pemiliknya bahwa makanan atau bahan makanan tersebut aman.

(5)  Surveilans Ketat

Diarahkan pada perkembangan KLB menurut waktu, tempat dan orang dan efektifitas pengobatan serta upaya pencegahan adanya korban baru.

Apabila tidak ada korban baru, berarti sumber bahan beracun sudah tidak memapari orang lagi, dan KLB dapat dinyatakan berakhir.

Apabila kurva KLB sudah turun serta konsisten, maka dapat disimpulkan bahwa penularan telah berhenti, tetapi kasus baru diperkirakan masih akan bermunculan sampai masa inkubasi terpanjang telah tercapai.

3 comments:

  1. Izin promo ya Admin^^

    Bosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
    minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.COMPANY ....:)

    ReplyDelete
  2. Numpang promo ya Admin^^
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
    - Telkomsel
    - GOPAY
    - Link AJA
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.IONPK.ME (k)
    add Whatshapp : +85515373217 x-)

    ReplyDelete